Oleh: siswantomasruri | November 18, 2010
BAGAIMANA
MENULIS KARYA (ARTIKEL) ILMIAH
I
Pertama-tama,
dalam menulis karya (artikel) ilmiah, dosen PTAIN perlu mengacu pada filosofi
keilmuan yang dimiliki. Filosofi keilmuan tersebut ditengarai antara lain
berangkat dari apa yang akan ditulis (ontologi), bagaimana
cara menulis (epistemologi), dan apa manfaat dari penulisan karya
(artikel) ilmiah tersebut (aksiologi). Dengan memahami filosofi
tersebut, karya (artikel) ilmiah dosen sebaiknya diorientasikan secara
sungguh-sungguh menuju pribadi penulis yang ahli ibadah (science for
ibadah), humanis (science for humanism), ahli ilmu (science
for science), dan ahli sadaqah (science for making money?).
Dengan titik tolak filosofis dan orientasi demikian, maka, setiap dosen PTAIN
akan selalu termotivasi untuk menulis karya (artikel) ilmiahnya secara kongkret
dan bermasa-depan (dunia dan akherat?).
Untuk
dapat berpikir ilmiah dengan baik, maka, diperlukan sarana berupa bahasa,
logika, matematika, dan statistika. Bahasa merupakan alat komunikasi
verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir di mana bahasa merupakan alat
berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada
orang lain. Ditinjau dari pola berpikirnya, maka, ilmu merupakan gabungan
antara berpikir deduktif dan berpikir induktif. Untuk itu, penalaran ilmiah
menyadarkan diri kepada proses logika deduktif dan logika induktif. Matematika
memiliki peranan penting dalam berpikir deduktif, sedangkan statistika berperan
penting dalam berpikir induktif. Bagaimana mungkin seseorang dapat melakukan
penalaran yang cermat tanpa menguasai struktur bahasa yang tepat? Demikian
juga, bagaimana seseorang dapat melakukan generalisasi tanpa menguasai
statistika? Memang betul tidak semua masalah membutuhkan analisis statistik,
tetapi hal ini bukan berarti bahwa mereka tidak peduli terhadap statistika sama
sekali dan berpaling kepada cara-cara yang justru tidak bersifat ilmiah?. [2]
II
Albert
Einstein (1879-1955), seorang Ahli Fisika dari Jerman, pencipta teori
relativitas, telah membuka jalan baru bagi Ilmu Fisika sehingga ia mendapat
hadiah Nobel pada tahun 1931. Ketika menulis “I belong to the rank of the
religious men”, ia menyatakan bahwa tugas mulia Ahli Fisika adalah
menemukan hukum-hukum dasar universal, yang dari hukum-hukum tersebut, kosmos
dapat dibangun dengan deduksi murni. Hanya intuisi yang berdasarkan pengertian
simpatik mengenai pengalaman, yang dapat mencapai hukum-hukum dimaksud.[3] Setiap usaha ke arah deduksi logis mengenai
konsep-konsep dasar dan postulat-postulat mekanika yang bersumber dari
pengalaman elementer, pasti akan menemui kegagalan.
Pengetahuan
dan perasaan yang demikian itu terdapat pada pusat keagamaan yang hakiki. Dalam
pengertian ini, dan hanya dalam pengertian inilah, Einstein termasuk golongan
orang-orang yang religius penuh pengabdian.[4] Emosi yang paling indah dan paling mendalam,
menurutnya, adalah kesadaran akan perkara-perkara yang sifatnya spiritual.
Kesadaran tersebut merupakan kekuatan segala ilmu pengetahuan yang sejati.
Orang yang tidak mengenal emosi tersebut dapat dikatakan mati. Kesanggupan
manusia yang tumpul hanya dapat memahami, dalam bentuk-bentuknya yang paling
sederhana, bahwa pengetahu-an adalah pusat keagamaan sejati.
Mohammad
Hatta juga pernah menyatakan bahwa walaupun daerah agama dan ilmu
itu terpisah satu sama lain, namun, antara keduanya terdapat pertalian dan
hubungan timbal-balik yang kuat. Walaupun agama yang menetapkan tujuan, namun,
agama tetap belajar dari ilmu dalam arti yang seluas-luasnya seperti alat-alat
apa yang sebenarnya dapat membantu mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Ilmu
hanya dapat diciptakan oleh orang-orang yang jiwanya penuh dengan keinginan
untuk mencapai kebenaran.[5] Sumber perasaan demikian tentu memancar dari
daerah agama. Ke dalam daerah ini, termasuk juga kepercayaan akan kemungkinan
bahwa hukum-hukum yang berlaku bagi kehidupan dunia adalah rasional (dapat
diterima akal). Karenanya, Hatta tidak dapat mengerti kenapa ada cendekiawan
berpengaruh tetapi tidak mempunyai kepercayaan yang mendalam.[6]
Ketika
menulis makalah “Kepercayaan versus Pengetahuan”, Nurcholish Madjid pernah
menyatakan bahwa,
“Penggunaan
kata “versus” dalam artikel ini hanyalah sekedar untuk mencari kemudahan
pemilihan kata. Untuk itu, penggunaan kata tersebut tidak menghendaki
penafsiran langsung dengan arti pertentangan. Kepercayaan tidak selalu
bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Begitulah klaim dari banyak sekali tokoh
agama. Mungkin kepercayaan itu berbeda dari ilmu pengetahuan dalam memandang
suatu masalah, tetapi tidak mesti bertentangan atau antagonis. Dalam keadaan
demikian, dapat diharapkan, suatu saat, antara keduanya akan terjadi pertemuan
dan persesuaian”.[7]
Sama
dengan Nurcholish Madjid, Osman Bakar pernah menjelaskan bahwa,
“Semangat
ilmiah tidak bertentangan dengan kesadaran religius, karena ia merupakan bagian
yang terpadu dengan Keesaan Tuhan. Memiliki kesadaran akan Keesaan Tuhan
berarti meneguhkan kebenaran bahwa Tuhan adalah Satu dalam EsensiNya, dalam
Nama-nama dan Sifat-sifatNya, dan dalam PerbuatanNya”.[8]
Menurut
Bakar, satu konsekuensi penting dari pengukuhan kebenaran sentral adalah bahwa
orang harus menerima realitas objektif kesatuan alam semesta. Sebagai sebuah
sumber pengetahuan, agama bersifat empatik karena segala sesuatu di alam
semesta ini saling berkaitan dalam jaringan kesatuan alam melalui hukum-hukum
kosmis yang mengatur mereka. Kosmos terdiri dari berbagai tingkat realitas,
bukan hanya yang fisik. Tetapi, ia membentuk suatu kesatuan karena ia mesti
memanifestasikan ketunggalan sumber dan asal-usul metafisiknya yang dalam agama
disebut ”Tuhan”. Pada kenyataannya, Al-Qur’an dengan tegas menekankan bahwa
kesatuan kosmis merupakan bukti jelas akan Keesaan Tuhan. Dalam hubungan ini,
A. Mukti Ali pernah menyatakan bahwa,
“Kepercayaan
terhadap Keesaan Tuhan dapat membawa akibat kepercayaan terhadap keesaan
manusia dan keesaan moral. Persaudaraan dan persatuan seantero umat manusia
adalah hanya merupakan akibat langsung dari kepercayaan tentang Keesaan Tuhan.
Kesatuan hukum moral juga merupakan akibat langsung dari kepercayaan tentang
Keesaan Tuhan”.[9]
Dalam
pada itu, penjajaran atau pensejajaran istilah ilmu pengetahuan, teknologi
(iptek) dan nilai-nilai spiritual dimaksudkan agar lebih provokatif. Penjajaran
demikian seakan-akan menerima suatu kontradiksi yang tersirat, bahkan suatu
pertentangan antara iptek dengan nilai-nilai spiritual. Pendapat ini keliru dan
harus ditolak dengan argumen: “Apakah yang dimaksud dengan istilah ‘nilai-nilai
spiritual’? Apakah dengan ini dimaksudkan nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai
moral, atau etika?”. Tidak satu pun dari ketiganya memiliki arti yang persis
sama dengan nilai-nilai spiritual kendati ketiganya saling tumpang tindih.
Agama, misalnya, merupakan sumber nilai-nilai spiritual yang utama bagi
kebanyakan orang, tetapi, mereka yang tidak memeluk kepercayaan keagamaan
tertentu juga dapat memiliki nilai-nilai spiritual. Bagaimanapun tidak
memuaskannya, pemanfaatan definisi negatif, definisi yang paling sederhana bagi
nilai-nilai spiritual adalah nilai-nilai nonmaterial yakni nilai-nilai yang
dipeluk tanpa acuan pada tujuan-tujuan duniawi dan bersifat fisik.
Nilai
spiritual tertinggi adalah kebenaran[10] dan kebenaran yang absolut adalah kebenaran
agama. Visi mengenai kebenaran merupakan sesuatu yang sentral bagi semua agama.
Klaim terhadap pemahaman akan hakikat tertinggi dari kebenaran adalah yang
memberi legitimasi terhadap agama. Nilai ilmiah yang tertinggi adalah kebenaran
kendati aspirasi-aspirasi ilmu pengetahuan lebih terbatas daripada
aspirasi-aspirasi agama. Baik ilmu, filsafat maupun agama memiliki tujuan yang
sama yaitu kebenaran. Ilmu pengetahun, dengan metodenya, mencari kebenaran
tentang alam, termasuk di dalamnya, manusia. Filsafat, dengan wataknya, menghampiri
kebenaran, baik tentang alam, manusia maupun Tuhan. Agama, dengan
karakteristiknya sendiri, memberikan jawaban atas segala persoalan asasi
yang dipertanyakan manusia, baik tentang alam, manusia, dan Tuhan.
Dengan
perbedaan – bukan pertentangan – antara substansi wilayah ilmu dan agama,
akhirnya berakibat pada pencarian metode dan pendekatannya. Mula-mula
pendekatan yang berkembang adalah pendekatan tradisional yang banyak
dikembangkan di lembaga-lembaga ”model pesantren” atau ”model PTAIN”.
Pendekatan ini secara sederhana lebih mengutamakan peran wahyu daripada akal.
Selanjutnya, pendekatan ”model sekolah” atau ”model PTN” yang ditengarai
sebagai pendekatan modern karena lebih mengedepankan peran akal daripada
wahyu. Kedua pendekatan yang dikembangkan lembaga-lembaga tersebut melihat
wahyu dan akal secara struktural, bukan secara fungsional. Dari
kedua pendekatan tersebut, mereka yang menamakan diri sebagai ‘pakar’ akhirnya
mengenalkan beberapa pendekatan: naqliyah dan aqliah, jabariah
dan qadariah, teologis dan antropologis, tekstual dan kontekstual,
skriptural dan substansial, absolut dan relatif, normativitas dan historisitas,
doktrinal dan saintifik, transenden dan empiris, kualitatif dan kuantitatif, taklid
dan ijtihad, bi al-riwayah dan bi al-ra’yi, tathbiq
al-syari’ah dan tajdid al-fahm atau strukturalisme transendental,
eksternalisasi dan objektifikasi Islam, eksklusif dan inklusif, otoriter dan
demokratis, individual dan kolektif, dan lain sebagainya.
Secara
substansial, antara pendekatan yang satu dengan yang lain sebenarnya sama.
Pendekatan-pendekatan tersebut memang tampak menarik lebih-lebih jika mereka
yang ‘pakar’ menjelaskannya dengan bumbu-bumbu ilmiah yang mengasyikkan (game
of language). Meskipun demikian, masyarakat yang gamang dan bingung dengan
pendekatan-pendekatan yang beraneka ragam tersebut, sesungguhnya perlu juga
dikenalkan dengan pendekatan baru yakni pendekatan ’finansial’ dalam
melakukan kajian agama (Islam), keilmuan, dan budaya (khususnya). Jadi, ketika
seseorang melakukan kajian-kajian tersebut, yang diinginkan atau yang akan
dicapai bukan sekedar ilmu dan pahala ukhrawi, tetapi juga ilmu dan
pahala duniawi (’finansial’). Prof Qodri A. Azizy, meski tidak secara eksplisit
menyebut pendekatan finansial, pernah menyebutnya dengan ‘orientasi pada
penyiapan SDM for a better life dan kewajiban untuk hidup memperoleh hasanah
fi al-dunya’
III
Suatu
karya tulis dapat dikategorikan sebagai karya ilmiah apabila memenuhi
ketentuan-ketentuan sebagai berikut: (1) Metodologi: berdasarkan
metodologi ilmiah seperti kritis, analitis, objektif, dan sistematis; (2) Substansi:
a) uraian harus sesuai dengan tema; b) memberi sumbangan dalam pengembangan
ilmu pengetahuan sesuai bidangnya; (3) Teknik dan Bahasa: a) memenuhi
ketentuan teknis penulisan karya ilmiah seperti daftar isi, kutipan, dan daftar
pustaka; b) bahasa yang digunakan baik, benar, dan mudah dipahami. Selanjutnya,
suatu karya tulis tidak dapat dogolongkan sebagai karya ilmiah apabila hanya
berupa pengulangan atau kutipan pendapat orang lain tanpa menyebutkan sumbernya
dan atau tanpa mengemukakan pendapat sendiri yang disertai bukti atau alasan
yang kuat.
Esensi
kerja penelitian ilmiah atau karya (artikel) ilmiah adalah menggarap
pengetahuan yang benar dan kebenaran pengetahuan. Pengetahuan yang benar adalah
pengetahuan yang logis dan objektif. Pengetahuan yang logis adalah pengetahuan
yang didukung data. Kerja penelitian biasanya mengarah pada sebuah karya
ilmiah. Karya ilmiah adalah karya yang mengikuti kaidah, peraturan, dan jalan
pikiran yang berlaku dalam pengetahuan serta memberikan sumbangan kepada
khazanah ilmu pengetahuan di bidang masing-masing.
Penulisan
karya ilmiah adalah suatu jenis penulisan yang biasanya
dilakukan di sebuah Perguruan Tinggi (mis. PTAIN/S). Penulisan jenis ini
berbeda dari jenis-jenis penulisan lain (surat pribadi, karya sastra, karya
jurnalistik, dan karya bisnis). Perbedaan-perbedaan tersebut dapat dilihat
dalam 3 hal: pembaca (audience), gaya, dan tujuan penulisan.
- Pembaca:
Kapan
pun anda menulis, anda harus memperhatikan siapa pembaca karya anda yakni
mereka yang akan membaca tulisan anda. Mengetahui siapa pembaca karya anda,
akan sangat membantu anda berkomunikasi dengan mereka secara jelas dan efektif.
Dalam penulisan karya ilmiah, pembaca karya anda adalah dosen, pembimbing, dan
penguji anda.
- Gaya:
Bukan
hanya pembaca karya anda, tetapi gaya penulisan anda juga harus mendapatkan
perhatian. Gaya tulisan akan mencerminkan sikap anda, dan ini dapat dilakukan
dengan kepandaian anda dalam memilih kata-kata, tata bahasa, panjang-pendek
kalimat yang akan anda gunakan dan lain sebagainya. Misalnya, surat kepada
teman anda tentu akan sering menggunakan bahasa/logat populer (slang
expression) dan kalimat-kalimat aktif, sedang karya ilmiah akan sering menggunakan
kata-kata yang sangat teknis, impersonal, dan kalimat-kalimat pasif.
- Tujuan:
Tulisan-tulisan
karya sastra biasanya memiliki tujuan untuk menghibur, tulisan-tulisan
jurnalistik biasanya untuk memberi informasi dan persuasi, sedang tujuan
tulisan karya ilmiah adalah untuk menjelaskan dan meyakinkan kebenaran
sebuah pandangan kepada para pembaca, yang biasanya dimulai dengan
paragraf-paragraf tunggal dan kemudian membangun beberapa paragraf lainnya.
- Beberapa Langkah Penulisan:
-
Pra Penulisan:
1.
Membaca dan meneliti karya-karya lama, melakukan refleksi dan menentukan
judul karya (artikel) ilmiah;
2.
Memilih dan mempersempit topik (umum, spesifik, sangat spesifik);
3.
Brainstorming (membuat daftar).
-
Perencanaan Penulisan (Membuat Outline):
1.
Membuat daftar.
2.
Mengelompokkan (klasifikasi).
3.
Membuat outline sederhana.
-
Penulisan Draft:
1.
Menyusun latar belakang (keprihatinan/keresahan/argumen akade-mik), membuat
masalah, menentukan metode dan pendekatan, melakukan pembahasan yang analitis,
dan membuat kesimpulan (ada kemungkinan perubahan dalam proses penulisan);
2.
Membuat topic atau key sentence dilanjutkan dengan supporting
sentences, dan concluding sentence (setiap alinea terdiri dari 5
(minimal) s.d. 8 kalimat (maksimal);
Contoh:
Topic
sentence:
One
of the city’s biggest problem is the unreliability of its public
transportation.
Supporting
sentences:
Daily
schedules are unreliable (late arrivals, arrive in bunches), passangers are
victims etc.
Concluding
sentence:
So
they (passengers) are late to appointments, work, classes, or
So
they (passengers) must allow to extra time to wait for buses.
3.
Menulis draft awal dan kasar;
4.
Memperbaiki isi dan susunan karya (artikel) ilmiah;
5.
Melakukan checking tata bahasa;
6.
Konsisten dengan tata cara dan pedoman penulisan;
7.
Memiliki tekad menemukan orisinalitas dan tidak berniat menjiplak karya
orang lain meski “there is nothing new under the sun”.
-
Penulisan Naskah Final
BEBERAPA
CATATAN AKHIR
TEKNIK/BAHASA
1.
Bagaimana menulis daftar pustaka?;
2.
Berapa jumlah daftar pustaka?
3.
Berapa jumlah halaman (mis. proposal skripsi, tesis, disertasi)?
4.
Berapa jumlah halaman (artikel ilmiah)?
5.
Bagaimana menulis footnote (catatan kaki) atau in body note
(catatan perut)?
6.
Bagaimana hubungan antara pendahuluan, rumusan masalah, pembahasan, dan
kesimpulan?
7.
Proposal skripsi, tesis, disertasi bukan merupakan bab pendahuluan;
8.
Kapan menulis bab pendahuluan skripsi, tesis, disertasi?
9.
Setelah angka halaman (pakai titik), tidak perlu pakai hal. atau hlm.
DELAPAN
POINT PENTING
1.
Substansi (masalahnya apa?); latar belakang:
keprihatinan/keresah-an/argumen akademik apa?
2.
Metodologi (bagaimana menyelesaikan masalah?); pengertian tentang
metodologi tidak perlu ditulis panjang lebar;
3.
Teknik dan Bahasa (bagaimana menuliskannya?; jangan terlalu menonjolkan game
of language)
4.
Tinjauan Pustaka: membaca/meneliti karya-karya
ilmiah/penelitian-penelitian lama/sebelumnya (prior researches) kemudian
memban-dingkannya dengan karya sekarang (present research); di mana
letak perbedaannya?
5.
Kontribusi atau temuan baru (penelitian paten) adalah yang
terpenting;
6.
Berkala Ilmiah (Scientific Journal, Scientific Periodicals):
Berkala yang melaporkan hasil dan temuan baru penelitian; isinya
berkeorisinalan (orisinalitas) tinggi yang dilengkapi dengan perincian ilmiah
untuk mengevaluasi kesahihan argumen atau hasil yang disajikan secara padat dan
pekat dengan kosakata dan istilah yang tidak terbatas jumlahnya.
7.
Berkala Semi Ilmiah (Semi Popular Journal): Berkala yang
memuat tulisan teknis buat kalangan terpelajar yang bukan spesialis dalam
bidang termaksud (tertentu); biasanya memuat gagasan dan tinjauan berdasarkan
pustaka acuan; penyajiannya padat, tetapi kosakatanya kurang dari 4000 karena
istilah teknis yang dipergunakan harus dikenal (oleh kaum terpelajar);
8.
Lain-lain: Tugas perguruan tinggi bukan hanya menransfer iptek.
Universitas punya misi mendasar yaitu menghimpun, memelihara, dan menransfer
nilai, knowledge yang baru kepada generasi baru. Nilai-nilai baru itu
adalah kerja keras, penghormatan kepada orang lain, semangat berbangsa dan
bernegara, serta budaya baca (Dodi Nandika, SKH Kompas, 21 Nopember 2006),
12.
[1] Disampaikan pada Pembukaan Workshop
Penulisan Artikel Ilmiah Untuk Jurnal Internasional (Bidang Ilmu-Ilmu Sosial)
di UIN Sunan Kalijaga, 12 Nopember 2010.
[2] Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu,
Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapabn, 2007), 167.
[3] Sarvepalli Radhakrishnan (Editor), History
of Philosophy: Eastern and Western, volume I (London: t.p., 1952 ),
441.
[4] Lincoln
Barnett, The Universe and Dr. Einstein (New York: t.p., t.th.), 117;
lihat juga, Soedewo P.K., Islam dan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: t.p.,
t.th.), 77.
[5] Manusia adalah makhluk pencari
kebenaran. Ada 3 (tiga) teori tentang kebenaran: (1) Teori Korespondensi
atau Realisme, yakni kebenaran yang sesuai dengan fakta; (2) Teori
Konsistensi atau Idealisme, yakni kebenaran yang berhubungan dengan
kebenaran lain; (3) Teori Pragmatis, yakni kebenaran yang memuaskan
manusia. Sejalan dengan itu, ada 3 (tiga) jalan untuk mencari, menghampiri, dan
menemukan kebenaran, yaitu ilmu, filsafat, dan agama. Ketiga cara
ini memiliki ciri-ciri tersendiri dalam menemukan kebenaran. Ketiga institut
ini memiliki titik-persamaan, titik-perbedaan, dan titik-singgung antara yang
satu dengan yang lainnya; lihat, Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat,
dan Agama (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), 18-32 dan 171.
[6] Science without religion is lame and
religion without science is blind (ilmu
tanpa agama akan lumpuh dan agama tanpa ilmu akan buta); lihat juga, Mohammad
Hatta, Islam, Masyarakat, Demokrasi, dan Perdamaian (Jakarta: 1957), 25;
Mohammad Hatta, Pengantar Ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan (Jakarta: P.T.
Pembangunan, 1970), 45-50; Mohammad Hatta, Ilmu dan Agama (Jakarta:
Yayasan Idayu, 1983), 5-20.
[7] Nurcholish Madjid, “Keperecayaan
Versus Pengetahuan” dalam Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan (Bandung:
Mizan, 1987), 264.
[8] Osman Bakar, Tawhid and Science:
Essays on the History and Philosophy of Islamic Science, diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia oleh Yuliani Liputo dengan judul, Tauhid dan Sains,
Esai-Esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1994), 11-2.
[9]A. Mukti Ali, Keesaan Tuhan dalam
al-Qur’an (Yogyakarta: Nida, 1972), 12.
[10] Lihat, nisbah antara kebenaran ilmu,
filsafat, dan agama, dalam Endang Saifuddin Anshari, Ilmu ….., 171-8.
Dalam buku ini disebutkan ‘minimal’ tiga teori tentang kebenaran. Dikatakan
‘minimal’ karena masih ada teori yang lain kurang mendapatkan perhatian yakni Teori
Empiris yang menyatakan bahwa suatu proposisi dapat dijabarkan menjadi
proposisi mengenai pengalaman indra yang sungguh-sungguh terjadi; lihat, Louis
O. Kattsoff, Unsur-unsur Filsafat, terjemahan Soejono Soemargono
(Yogyakarta: Stensilan, 242-3); lihat, Charles A. Baylis, dalam Dagobert D.
Runes (Editor), Dictionary of Philosophy (New Jersey: 1963), 321; lihat
juga, A.C. Ewing, The Fundamental Questions of Philosophy (New York:
1962), 61.
Be the first to like this.
Ditulis dalam Tulisan
Tinggalkan
Balasan
Kategori
Arsip
Kategori
Tulisan
Terkini
- AKTUALISASI BERSAMA: PERJUANGAN TANPA KEKERASAN
- BAGAIMANA MENULIS KARYA (ARTIKEL) ILMIAH
- Korupsi: Antara Pejabat Pria dan Wanita
- Paradigma Liberal, Unggul, Dan Sejahtera Dalam Bingkai Pendidikan Global
- Bukti-Bukti Empiris Perlawanan Pesantren Terhadap Kekerasan Dan Terorisme
Surat
Kabar Luar Negeri
Surat
Kabar Nasional
- Berita Sore
- Equator News
- Harian Bisnis Indonesia
- Harian Sinar Indonesia
- Kompas
- Koran Tempo
- Media Indonesia
- Rakyat Merdeka
- Republika
- Sinar Harapan
- Suara Merdeka
- Suara Pembaharuan
- The Jakarta Post
Surat
Kabar Regional
- Bali Post
- Bangka Pos
- Banjarmasin Pos
- Batam Post
- Bernas
- Gorontalo Post
- Harian Analisa
- Jawa Pos
- Kedaulatan Rakyat
- Pikiran Rakyat
- Pontianak
- Waspada
Total
Visitor
Blog
Stats
- 4,006 hits
Meta
Follow
“Siswanto Masruri Blog”
Get every new post
delivered to your Inbox.
Komentar
Posting Komentar